Senin, 08 Juli 2013

Child is the Father of the Man!




 
“Child is the Father of the Man”
 
Kalimat di atas adalah sepenggal sajak dari William Wordsworth yang berjudul "My Heart Leaps Up."
Penggalan sajak tersebut mengingatkan kita kepada natur kita, bahwa setiap manusia dewasa adalah seorang anak yang tumbuh dan berkembang. Seorang anak yang dahulu makan lewat suapan ibunya, kini menggunakan sendok dan garpu. Bocah kecil yang dahulu menangis meminta uang untuk membeli mainan, kini bekerja keras untuk mengumpulkan uang demi melanjutkan hidup. Bukankah itu anda dan saya?

Sejatinya, kita semua pernah ada dalam masa-masa itu. Masa saat kita adalah anak-anak. Anak-anak, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 22 Tahun 2003 adalah manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun. Rentang usia anak yang relatif muda menyebabkan anak adalah kelompok usia yang rentan terhadap berbagai masalah. Anak memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menjamin tumbuh kembang mereka. Setiap anak juga berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dan hak anak membuat kecenderungan terganggunya keberfungsian sosial (social functioning) anak. Keberfungsian sosial dapat dikatakan sebagai “Kemampuan individu, keluarga, ataupun kelompok kecil untuk menjalankan peran sosialnya sesuai dengan harapan lingkungannya” (Isbandi Rukminto Adi). Seperti orang dewasa, seorang anak juga memiliki peran sosial yang harus dijalankannya, seperti menjadi pelajar, teman sebaya, dan anggota dari sebuah keluarga. Tetapi, tidak jarang kita melihat anak-anak yang mengalami disfungsi sosial. Anak yang putus sekolah, anak yang terlibat tawuran, anak jalanan, pekerja anak, -yang jumlahnya semakin meroket- bukanlah peran sosial anak yang sesuai dengan harapan lingkungan.

Bila diandaikan, kursi saja eksistensinya membawa manfaat. Kursi punya peran. Perannya menjadi tempat duduk untuk orang yang letih, orang yang ingin makan, orang yang bekerja di kantor, dan banyak lagi. Bisa bayangkan sebuah kursi, tempat biasa kita meletakkan beban tubuh, mengalami kerusakan pada kaki atau dudukannya? Dampaknya, kursi tersebut tidak bisa digunakan dan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan penikmatnya. Itu hanya pengandaian sederhana tentang fungsi dan peran.

Jika diimplikasikan dengan kehidupan anak, seorang anak akan dapat menjalankan fungsi sosialnya ketika ia dalam kondisi sejahtera (well-being), atau dengan kata lain: mendapat kasih sayang yang cukup, mendapat nutrisi yang sesuai, mendapatkan perlindungan, serta terpenuhi hak dan kebutuhannya. 

Ketika seorang anak terpenuhi hak dan kebutuhannya, maka ia akan dapat berfungsi secara sosial. Mereka akan belajar dengan baik dan berkembang secara optimal dengan seluruh potensi mereka. 

Kembali pada penggalan sajak di atas, “Child is the Father of the Man”.
Jika anak adalah bakal manusia -dewasa-, Manusia seperti apa yang akan tumbuh dari seorang anak yang mengalami kesejahteraan dan berfungsi secara sosial? Saya akan menjawabnya sekaligus menutup artikel ini: Manusia yang akan menjadi Agen Perubahan!

http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2013/07/09/child-is-the-father-of-the-man-575139.html

worldvision

Saya Mau Jadi Masinis! (Selamat Datang Agen Perubahan!)

Rasanya semua orang pasti pernah diberi pertanyaan “Kalau kamu besar nanti, kamu mau jadi apa?” atau “Cita-cita kamu apa?”. Minimal orangtua atau keluarga kita pasti pernah bertanya demikian. Lalu, apa jawaban yang sering kita dengar? Dokter, guru, pilot, artis, pemain bola mungkin menjadi nominasi jawaban terpopuler tentang cita-cita. Sepertinya profesi-profesi itulah yang membuat hati mereka bergelora untuk belajar dan untuk pergi ke sekolah menuntut ilmu.

Tapi, ada seorang anak yang berbeda. Anto. Namanya tidak saya samarkan karena dia seorang yang inspiratif dan saya pikir orang-orang yang membaca tulisan ini mungkin juga bisa bertemu dengannya kalau sedang singgah ke stasiun Manggarai.

Si anak penyapu kereta, yang tak punya rumah dan tak punya sandal ini, punya cita-cita yang berbeda dari anak-anak yang lain.

Anto, bocah 11 tahun, sehari-harinya bekerja menyapu kereta dan berharap para penumpang kereta mengulurkan tangan mereka dengan selembar uang seribuan supaya ia bisa menyambung hidupnya. Dia tak punya rumah. Baginya, lantai peron kereta Manggarai cukup untuk tempat peraduan pada malam demi malam. Sebenarnya, Anto punya tempat tinggal yang lebih layak yaitu rumah orangtuanya (yah, walaupun hanya rumah satu petak). Tapi, menurut pengakuannya, rumah orangtuanya ,yang di Ciledug itu, terlalu jauh untuk menjangkau stasiun kereta Manggarai tempat dia mencari nafkah. 

Itu baru tentang ketidakpunyaannya akan tempat tinggal yang layak. Belum tentang sandal. Waktu saya bercengkrama dengan dia, kakinya tak bersandal. Kakinya kotor, hitam karena debu dari lantai kereta dan tanah. Saya juga bisa lihat ada beberapa goresan di kakinya. Pasti itu bekas luka akibat beling atau tergores batu. Saya pikir hanya hari itu dia tidak memakai sandal. Lantas, saya tanya kepadanya tentang hal itu. “Sudah biasa gak pake sandal, Kak. Kalo pake sandal, malemnya pasti ilang. Sapu aja suka ilang”, jawabnya. Saya menawarkan supaya saat itu kami pergi ke warung untuk membeli sandal. Dia tidak mau. Sudah biasa katanya. 

Oh iya, di umurnya yang ke 11 tahun, Anto belum bisa membaca. Jelas saja, pendidikan sekolah dasar tidak pernah dikecapnya. Keluarganya tidak punya dana yang cukup untuk menyekolahkannya. Kondisinya yang tidak bersekolah dan tidak bisa membaca itulah yang mempertemukan dia dengan saya. Saya jadi relawan di sebuah rumah singgah di daerah Manggarai saat itu. Rumah singgah tempat saya beraktivitas memang terbuka untuk anak-anak pemulung, pengamen, dan anak kurang mampu. Rumah singgah ini ingin membantu anak-anak tersebut agar mereka bisa merasakan punya seorang guru, diajar sebuah materi, diberi nilai, dan pastinya supaya mereka menjadi anak yang bisa membaca dan berhitung.

Suatu hari, saya dan adik-adik sedang belajar. Kami membahas bahaya rokok. Lalu, saya meminta anak-anak tersebut untuk menggambar tentang bahaya rokok atau kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan rokok. Anak-anak mulai menggambar. Ada yang menggambar orang merokok di dalam rumah. Ada juga yang menggambar bentuk rokok. Kemudian, saya menghampiri Anto. Tahu apa yang dia gambar? Dia menggambar sebuah kereta dengan penumpangnya serta masinis di gerbong paling depan. Tidak terlihat gambar rokok atau orang merokok sama sekali. Seketika saya bingung.

“Ini ceritanya apa, Anto?”, Tanya saya tanpa mengungkit-ungkit tentang rokok sebagai tema gambar. “Saya mau jadi masinis, Kak!” jawabnya singkat, padat, jelas, dan penuh semangat.

gambar ini diambil dari http://www.djibnet.com/photo/harina/argo-parahyangan-full-eksekutip-4565240176.html
 
Baru sekali ini, seumur hidup saya, saya dengar ada anak yang cita-citanya jadi masinis.
Saat itu juga saya menyadari sesuatu. Dia bercita-cita demikian karena hidupnya sehari-hari dihabiskan dalam kereta, sehingga banyak hal yang mungkin tidak dia ketahui. Ditambah lagi ketidakmampuannya dalam membaca. 

Tapi, cita-citanya diletakkan di tempat yang paling tinggi..
Tempat yang paling terdepan sejauh matanya memandang dalam sebuah kereta. Masinis.

Tahu kan sekarang, kenapa saya bilang cita-cita Anto berbeda?

Ingat cita-cita, ingat juga ungkapan ini “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Kalau kita telaah kata demi kata dalam ungkapan ini, harusnya kita mengerti satu hal. Untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, anak-anak butuh pesawat terbang, butuh tangga yang panjaaaang sekali, atau mereka butuh kursi dengan kaki yang tinggi. Yah, pesawat terbang, tangga, dan kursi itu hanya perumpamaan. Intinya, mereka butuh media untuk bisa melakukannya. Sesuatu yang membantu mereka untuk sampai ke sana. Anto butuh pendidikan. Dia juga butuh guru, butuh buku, dan butuh pengetahuan yang membawa dia bisa menggapai cita-citanya. Demikian juga “Anto-Anto” yang lain.

Bangsa yang kita tinggali saat ini butuh orang-orang yang ahli di bidangnya. Tentu itu tidak dapat diperoleh secara instan. Kita sudah punya modal yang besar, anak-anak. Sinergisme keluarga, pemerintah, serta masyarakat adalah penggerak yang berpengaruh besar demi lahirnya generasi yang terdidik dan ahli di bidangnya, generasi yang siap menjadi agen perubahan. Seperti Anto, calon masinis yang bisa menjadi agen perubahan lewat pekerjaannya.

Dapatkah kita mewujudkannya? Dapat.

Anak-anak adalah modal. Cita-cita mereka adalah benih yang baik. Bagian kita bergerak dan bersinergi untuk mewujudkannya.

Mari kita sambut agen-agen perubahan negeri kita. Selamat datang anak-anak. Selamat datang agen perubahan!


worldvision

http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/03/saya-mau-jadi-masinis-selamat-datang-agen-perubahan-574013.html

Ana(K)nda Sebagai Agen Perubahan


Ini cerita saya. Tapi, bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak yang pada mereka kita menaruh harapan tentang bangsa ini. Kita sering menyebut mereka generasi penerus. Kita mengatakan bahwa mereka adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Kita berharap di tangan merekalah perubahan bangsa ini akan nyata.

Tapi, hari ini mereka adalah bilangan kaum yang lemah, butuh dididik, butuh perlindungan, dan butuh model agar mereka dapat berkembang secara maksimal.






Sebuah ironi terjadi dalam satu sisi kehidupan di mana saya pernah terlibat di dalamnya. Ini kejadian 2 tahun lalu, ketika saya masih mahasiswa. Saya diwajibkan untuk menjalani program magang di sebuah lembaga pelayanan sosial. Universitas tempat saya menimba ilmu memberi kebebasan bagi mahasiswanya untuk memilih lembaga yang akan menjadi tempat magang masing-masing. Maka, saya tidak menyia-nyiakan kebebasan ini. Saya memilih magang di sebuah lembaga, yang bergerak di bidang pengasuhan anak, di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.

Menantang bagi saya untuk mendalami apa yang terjadi dalam kehidupan anak terlantar di lembaga tersebut. Saya membayangkan akan bercengkrama dan berbagi cerita tentang sisi kehidupan anak-anak terlantar yang akan saya temui nanti. Benar saja, banyak sekali pelajaran saya dapat selama ada di sana. Kisah yang menyentuh hati bukan hanya sekali dua kali saya dengar. Bahkan, pada beberapa kesempatan saya meneteskan air mata karena apa yang mereka alami.

Anak terlantar..
Wolock & Horrowitz mendefiniskan penelantaran anak sebagai “…the failure of the child’s parent or caretaker, who has the material resources to do so, to provide minimally adequate care in the areas of health, nutrition, shelter, education, supervision, affection, or attention”. (Kegagalan orang tua atau pengasuh anak, yang memiliki sumber-sumber materi, untuk menyediakan seminimalnya perawatan yang cukup dalam bidang kesehatan, gizi, perlindungan, kasih sayang, dan perhatian) (Kirst-Ashman, 2007 : 274).

Saya akan mengangkat satu kisah tentang salah satu anak terlantar yang saya temui 2 tahun lalu di lembaga tersebut.

Sebut saja dia Ananda. Ananda adalah salah satu anak yang ditelantarkan oleh orangtua kandungnya sendiri. Ayah kandungnya enggan bertanggungjawab atas keberadaannya karena ayah dan ibunya bukan dalam status pernikahan. Ananda tidak pernah bertemu orangtuanya sejak kecil. Keberadaannya di lembaga pengasuhan sejak lahir membuat dia hanya mengenal ibu asuh dan anak-anak asuh lainnya sebagai keluarganya.

Saat ini, Ananda menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Ananda adalah seorang slow learner. Dia juga mengalami penyakit eksim yang membuat dia harus mengatur menu makannya secara ketat. Saya melihat banyak kekurangan dalam diri anak ini. Tapi, tidak demikian dengan dirinya. Dua bulan sebelum pertemuan pertama saya dengannya, dia baru saja kembali dari Athena. Ananda, si anak terlantar, slow learner-­pelajar SLB, penderita eksim, mewakili Indonesia sebagai atlet nasional cabang olahraga basket. Ananda tidak dibutakan dengan masa lalunya yang menyedihkan. Dia mampu melihat dirinya sebagai agen perubahan untuk bangsa ini.

Saya pikir dia ada di tempat yang tepat. Si anak yang ditelantarkan orangtuanya berbelas tahun yang lalu, tidak ditelantarkan dunia. Lembaga pengasuhan tempat dia berlindung telah merawat dirinya dengan luar biasa, membiayai pendidikannya, memastikan dia sehat, dan menjamin kesejahteraannya. Seperti yang pernah saya baca dalam sebuah literatur,
“Pengasuhan diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal baik fisik, mental, spritual, maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.” Pasal 38 (2) Undang-undang Perlindungan Anak.

Saat ini, Ananda masih terus melanjutkan hidupnya. Dia terus berlatih basket. Dia pernah menyampaikan keinginannya untuk mewakili Indonesia kembali pada olimpiade yang akan datang. Dan tahu, apa selanjutnya? Ananda telah menjadi agen perubahan bagi 150an anak terlantar yang ada di lembaga pengasuhan tersebut.

Apa yang dia ubah?
Dia mengubah batas impian anak-anak terlantar di lingkungannya.
Dia mengubah cara anak-anak terlantar memandang hidup mereka.

Bulan September di tanggal 7, Rabu Malam, pukul 19.35, anak-anak dikumpulkan dalam ruang pertemuan. Saya duduk di pinggir pintu menikmati aktivitas tersebut. Kepala lembaga meminta anak-anak mengungkapkan cita-cita mereka satu-per satu.
Satu orang berceloteh “Saya ingin seperti Ka Ananda, jadi atlet ke Athena!”
Malam itu, banyak pujian ditujukan untuk Ananda, si agen perubahan.

Pujian bagi seorang anak yang menjadi agen perubahan harusnya bukan hanya terjadi di tempat itu. Pengakuan untuk anak sebagai agen perubahan semestinya bukan hanya terjadi pada diri Ananda. Saya begitu percaya bahwa setiap anak kaya dengan potensi, tanpa pengecualian. Pandanglah setiap anak dan temukan potensi pengubah dalam diri mereka.

Dapatkah anda membayangkan bangsa ini, yang penduduknya sebesar 237, 6 juta orang dengan 34,66 persen dari jumlah tersebut adalah kelompok usia anak (0-17 tahun), memiliki 82.352.160 (34,66 persen dari 236,7 juta) agen perubahan yang siap membenahi keadaan bangsa Indonesia?
worldvision

http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2013/07/02/anaknda-sebagai-agen-perubahan-573727.html

Selasa, 11 Juni 2013

Trapped, on the right path -Batalyon Siliwangi-

Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, pelajaran sejarah itu salah satu pelajaran yang tidak saya acuhkan. Saya selalu tidak bisa "in line" dengan pemikiran orang-orang yang menganggap sejarah itu krusial untuk dipelajari. Bukannya pelajaran sejarah itu membosankan ya? Membahas orang yang sudah tidak ada, membahas gaya hidup yang tidak relevan lagi dengan masa sekarang.

Tapi hari ini saya malah menuliskannya, hahaha. Sesuatu yang dulu saya anggap sepele kini menunjukkan keberartiannya. Membuat saya tidak bisa tidak mengakui pentingnya dia dalam perjalanan sebuah masa. Maka, setelah sampai ke titik ini, saya memutuskan untuk menuliskan sebuah sejarah. Sejarah yang akan membuat perjuangan saya selalu dikenang... Oleh saya sendiri.

Tahun 2006, ketika masih duduk di bangku 2 SMA, seorang kakak mentor rohani di sekolah saya (Sebut saya dia Kak Tulip, hihihi :D ) mengajak saya untuk pergi ke sebuah tempat. "Besok, lw ikut ke PAA* BS yuk Herna." Tanpa bertanya terlebih dulu apa kegiatan saya esok harinya, sepertinya Kak Tulip begitu optimis akan mendengar jawaban "YA" dari mulut saya. Celakanya, kepala saya mengangguk dan mulut saya terucap kata "Iya Ka,". Sepertinya saat itu terjadi unsynchronized pada otak, hati, dan mimik wajah saya.

Gimana besok ya..Harus sok-sok imut sama anak-anak itu. batin saya. Seribu bayangan tentang anak-anak yang grasak-grusuk, lompat sana lompat sini, berisik, nangis, manja memenuhi pikiran saya saat itu. Sambil membayangkan kelakuan anak-anak, saya menikmati "penyesalan" kenapa mengiyakan ajakan ke PAA BS.

Esoknya, seperti yang sudah dijanjikan, saya berangkat juga. Saya diberi instruksi untuk menunggu di sebuah gang sampai Kak Tulip datang. 20 menit menunggu, wajah Kak Tulip muncul dari dalam angkutan umum sambil melambai-lambaikan tangannya mengajak masuk ke angkutan yang sedang ia naiki. Beberapa detik kemudian saya sudah berada di angkutan yang sama menuju TKP (Percaya gak percaya, waktu itu saya bener-bener ngerasa deg-degan, nervous, dan pasrah).

Singkat cerita, sampailah saya ke sebuah tempat yang banyak anak-anaknya! Mereka kecil-kecil, mungkin sekitar kelas 1-3 SD. Ada beberapa anak balita juga disana. Saya berusaha menikmati momen itu. Tidak mudah memang. Saya merasa terjebak. Sungguh-sungguh merasa seperti menjadi korban dari sebuah konspirasi. Entah, harus seperti apa menyebutnya. Mungkin "konspirasi" rencana Sang Mahakuasa dan si destiny yang sudah dipatenkan menjadi milik saya.

Di tengah-tengah perasaan yang campur aduk itu, saya mendengar sebuah percakapan seorang anak dengan Kak Tulip. Percakapan itu mencuri perhatian saya.

"Kak, kita gak usah PAA deh, main kartu aja!", (whatt??)
"Kak, si Andre* gak usah diajak PAA ya." anak itu melanjutkan. "Andre siapa?" tanya Kak Tulip.
"Itu, Andre anaknya Tomi" (again i say, whatt??)

Ini anak-anak kok tingkah laku dan ngomongnya menyeramkan ya? Masa dia ngajak main kartu. Dia gak tau apa ini kakak-kakak mau ngajarin yang bener. Mereka galak gitu? Gak takut apa dia ngajak kita main kartu?!?! Lagipula, dia tau kartu dari mana?
Disini apa biasa ya nyebut nama orang tua pake nama? Gw juga SMP suka ceng-cengan nama orang tua. Tapi itu SMP! Ini mereka masih bocah.

Baru tau saya, di sudut dunia ini, ada sisi kehidupan anak-anak yang begini modelnya. Senakal-nakalnya anak yang pernah saya temui, saya belum pernah melihat anak yang nakalnya "sehancur" ini.

Tampang saya jelas-jelas shocked dan bingung. Kak Tulip sepertinya menangkap ekspresi saya yang berubah. Waktu saya lihat wajahnya, tatapan matanya seakan memberi penjelasan "Maklumin aja ya, beginilah anak-anak di sini."

Hari itu, Kak Tulip mengisi kegiatan PAA dengan mengajari bikin surat cinta untuk orangtua mereka. Kak Tulip membagikan kertas HVS berbagai warna dan pensil warna kepada masing-masing anak. Anak-anak sibuk menuliskan surat cinta untuk orang tua mereka. Sayangnya, sekarang saya sudah lupa apa-apa saja yang mereka tuliskan. Mungkin karena saat itu saya tidak terlalu memperhatikan mereka akibat "childrenlag" :D
Mungkin, kalo saya ingat, saya akan mengenang tulisan-tulisan mereka juga dalam cerita ini :). Hm..tulisan mereka pasti penuh dengan kepolosan, lucu, atau mungkin ada yang akan membuat kepala saya bergeleng. Hah...Saya menyayangkan tidak mengingat hal ini sedikitpun.



Ini pertama kalinya saya melihat sisi lain kehidupan anak-anak. Ini pertama kalinya (hati) saya bersentuhan dengan mereka. Ini pertama kalinya saya memaksa telinga saya mendengar mereka. Ini pertama kalinya saya membiarkan tangan saya memeluk seorang anak yang penuh ingus dengan bau tak sedap. Pertama kali bagi saya ada di tempat seperti ini..

Sepertinya, kali ini saya terjebak.. Terjebak di jalur yang benar.


P.S
PAA adalah singkatan dari Persekutuan Anak-anak. BS adalah singkatan dari Batalyon Siliwangi salah satu pemukiman di daerah cililitan, bekas pemukiman tentara. Beberapa orang mengatakan kehidupan disitu keras karena dulunya pemukiman itu bekas pemukiman tentara.
Akhirnya saya memutuskan untuk terus menjadi relawan pengajar di PAA BS.
Tidak disangka saya bertahan selama 2,5 tahun :D

Kamis, 06 Juni 2013

Sabtu, 25 Mei 2013

Saya ingin menyejahterakan anak-anak!


Hari ini saya melakukan sesuatu yang tertunda. Berhari-hari sampai hitungan minggu lamanya, tulisan ini tertunda untuk dibuat.
Kembali ke tujuan awal saya membuat catatan ini, mengisi laman demi laman, saya ingin menuliskan setiap langkah yang sudah saya jejakkan untuk sampai kepada mimpi saya.
Mimpi ini timbul di hati saya sekitar 6 tahun yang lalu..

Saya ingat betul, sebelum 6 tahun yang lalu, saya bukan pribadi yang menyukai anak-anak. Saya justru cenderung memandang sebelah mata keberadaan anak-anak, bahkan menghindari kontak dengan anak-anak. Persepsi saya pada saat itu, anak-anak hanya seorang yang merepotkan, suka bergelayut, manja, ahh..tidak ada sesuatu yang “menarik” dari anak-anak yang menarik saya untuk mendekati mereka. Pernah satu hari, ketika saya duduk di bangku SMP, seorang guru Bahasa Inggris membawa anaknya yang berumur dua tahun ke sekolah. Sekonyong-konyong teman-teman saya mengerubungi si anak, mencubit pipinya, dan mengajak bicara dengan gaya khas “bocah”.  Saya? Tentu saja mengambil jarak beberapa langkah sambil berpikir dalam hati “Ini pada ngapain sih? Apa lucunya itu anak.”

Saya sering melontarkan pernyataan kepada teman-teman saya bahwa saya tidak menyukai anak-anak. Saya tidak suka ke”cengeng”an mereka, direpotkan dengan kemanjaan mereka, dan merasa terganggu dengan tingkah mereka yang acapkali “rewel”, urrggghh..No, stay away from me kids!

Hahaha, menuliskan hal ini saya tertawa sendiri dalam hati. Betapa saya masih mengingatnya..Ketidaksukaan saya terhadap anak-anak. Saya juga tidak tahu kenapa saya
seperti itu. Padahal, saya memiliki dua adik yang jarak usianya 3 tahun dan 6 tahun. Seharusnya saya terbiasa dengan keberadaan anak-anak. Paling tidak saya pernah “mengasuh” dua orang anak selama hidup saya.

Belum cukup sampai disitu. Ternyata saya juga bukan kakak yang baik untuk kedua anak kecil di rumah saya ini. Dewasa ini, mereka berdua sering berkelakar “Lo kan dulu selalu buang muka kalo kita panggil pas di sekolah. Lo gak pernah mau pulang bareng kita.”
Astaga...Saya baru menyadarinya. Saya tidak menampik apa yang mereka katakan. Benar..Itulah saya saat itu. Saya selalu tidak acuh ketika mereka memanggil saya. Saya membiarkan mereka yang baru kelas 5 dan 2 SD pulang sendirian. Padahal saya, kakaknya, satu sekolah dengan mereka.
Benar-benar saya ini, bukan penyayang anak-anak. Jauh dari figur pemerhati anak-anak.

Tapi mimpi ini mengubahkan saya.

6 tahun yang lalu, sosok yang tidak pernah saya perhatikan selama bertahun-tahun, yang tidak menarik perhatian saya, kini membuat hati saya hancur melihatnya, bahkan mereka mengambil seluruh perhatian saya.  Membuat banyak keputusan yang saya ambil ketika kuliah, bekerja, bahkan memilih pasangan hidup, memasukkan mereka dalam arena pertimbangan.

Entah apa yang membuat bayangan itu muncul dalam pikiran saya.  Saya membayangkan anak-anak di ujung-ujung Indonesia yang miskin dan tidak tersentuh. Tidak tersentuh pendidikan, tidak tersentuh fasilitas kesehatan, tidak tersentuh teknologi. Tapi saya ingin menyentuh mereka. Saya ingin mereka  merasakan apa yang saya rasakan: mengenyam pendidikan, terlayani fasilitas kesehatan, mendapat makanan yang cukup.

Saya ingin menyejahterakan anak-anak!

Saya ingin mereka tersenyum karena bisa belajar. Saya ingin melihat mata yang berbinar karena cakrawala terbuka. Saya ingin melihat mereka tertawa karena perut mereka kenyang. Saya ingin melihat mereka bergembira karena mereka sehat.



Saya akan terus memimpikan itu dan melangkah untuk mewujudkan. Saya biarkan itu hidup dalam hati saya, menderu dalam nafas saya, memenuhi pikiran saya.  Dan inilah yang bergema dari mulut saya, “Aku dan mimpiku selangkah lagi.”

Selasa, 16 April 2013

"Aku dan mimpiku, selangkah lagi."



13 hari setelah saya memulainya.. 
membuat catatan mimpi saya.. 
Saya mendapati kembali energi untuk menulis. Bukan untuk menciptakan sebuah karya fiksi, atau sebuah sajak yang indah, tidak... 
Tapi saya ingin menulis mimpi-mimpi saya,
apa yang telah saya lewati demi mencapainya, apa yang terus saya renungkan untuk sampai ke sana.

Tulisan ini akan jadi sejarah. Memoar, begitu seorang teman menyebutkan..
Setiap usaha, setiap rencana, setiap keberhasilan yang tertunda, keberhasilan yang dicapai, setiap pengetahuan yang baru, setiap pertimbangan beralamat disini...

 Catatan kecil seorang pemimpi, seorang peraih mimpi “Aku dan mimpiku, selangkah lagi.”

(always) Remember the day..



Saya akan mengingat hari ini. Dan saya sedang menuliskannya. Apa yang saya mulai, apa yang sedang saya kerjakan, dan apa yang terus saya impikan.

Aku dan mimpiku, selangkah lagi.

Betapa kalimat itu terus bergema dalam batin saya, pikiran saya. Bahkan kini telah mengalir keluar, bersuara dalam hari-hari saya, ketika saya bangun, bekerja, menonton televisi, di jalan, terlebih ketika melihatnya..   (04 April 2013)