Senin, 08 Juli 2013

Ana(K)nda Sebagai Agen Perubahan


Ini cerita saya. Tapi, bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak yang pada mereka kita menaruh harapan tentang bangsa ini. Kita sering menyebut mereka generasi penerus. Kita mengatakan bahwa mereka adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Kita berharap di tangan merekalah perubahan bangsa ini akan nyata.

Tapi, hari ini mereka adalah bilangan kaum yang lemah, butuh dididik, butuh perlindungan, dan butuh model agar mereka dapat berkembang secara maksimal.






Sebuah ironi terjadi dalam satu sisi kehidupan di mana saya pernah terlibat di dalamnya. Ini kejadian 2 tahun lalu, ketika saya masih mahasiswa. Saya diwajibkan untuk menjalani program magang di sebuah lembaga pelayanan sosial. Universitas tempat saya menimba ilmu memberi kebebasan bagi mahasiswanya untuk memilih lembaga yang akan menjadi tempat magang masing-masing. Maka, saya tidak menyia-nyiakan kebebasan ini. Saya memilih magang di sebuah lembaga, yang bergerak di bidang pengasuhan anak, di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.

Menantang bagi saya untuk mendalami apa yang terjadi dalam kehidupan anak terlantar di lembaga tersebut. Saya membayangkan akan bercengkrama dan berbagi cerita tentang sisi kehidupan anak-anak terlantar yang akan saya temui nanti. Benar saja, banyak sekali pelajaran saya dapat selama ada di sana. Kisah yang menyentuh hati bukan hanya sekali dua kali saya dengar. Bahkan, pada beberapa kesempatan saya meneteskan air mata karena apa yang mereka alami.

Anak terlantar..
Wolock & Horrowitz mendefiniskan penelantaran anak sebagai “…the failure of the child’s parent or caretaker, who has the material resources to do so, to provide minimally adequate care in the areas of health, nutrition, shelter, education, supervision, affection, or attention”. (Kegagalan orang tua atau pengasuh anak, yang memiliki sumber-sumber materi, untuk menyediakan seminimalnya perawatan yang cukup dalam bidang kesehatan, gizi, perlindungan, kasih sayang, dan perhatian) (Kirst-Ashman, 2007 : 274).

Saya akan mengangkat satu kisah tentang salah satu anak terlantar yang saya temui 2 tahun lalu di lembaga tersebut.

Sebut saja dia Ananda. Ananda adalah salah satu anak yang ditelantarkan oleh orangtua kandungnya sendiri. Ayah kandungnya enggan bertanggungjawab atas keberadaannya karena ayah dan ibunya bukan dalam status pernikahan. Ananda tidak pernah bertemu orangtuanya sejak kecil. Keberadaannya di lembaga pengasuhan sejak lahir membuat dia hanya mengenal ibu asuh dan anak-anak asuh lainnya sebagai keluarganya.

Saat ini, Ananda menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Ananda adalah seorang slow learner. Dia juga mengalami penyakit eksim yang membuat dia harus mengatur menu makannya secara ketat. Saya melihat banyak kekurangan dalam diri anak ini. Tapi, tidak demikian dengan dirinya. Dua bulan sebelum pertemuan pertama saya dengannya, dia baru saja kembali dari Athena. Ananda, si anak terlantar, slow learner-­pelajar SLB, penderita eksim, mewakili Indonesia sebagai atlet nasional cabang olahraga basket. Ananda tidak dibutakan dengan masa lalunya yang menyedihkan. Dia mampu melihat dirinya sebagai agen perubahan untuk bangsa ini.

Saya pikir dia ada di tempat yang tepat. Si anak yang ditelantarkan orangtuanya berbelas tahun yang lalu, tidak ditelantarkan dunia. Lembaga pengasuhan tempat dia berlindung telah merawat dirinya dengan luar biasa, membiayai pendidikannya, memastikan dia sehat, dan menjamin kesejahteraannya. Seperti yang pernah saya baca dalam sebuah literatur,
“Pengasuhan diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal baik fisik, mental, spritual, maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.” Pasal 38 (2) Undang-undang Perlindungan Anak.

Saat ini, Ananda masih terus melanjutkan hidupnya. Dia terus berlatih basket. Dia pernah menyampaikan keinginannya untuk mewakili Indonesia kembali pada olimpiade yang akan datang. Dan tahu, apa selanjutnya? Ananda telah menjadi agen perubahan bagi 150an anak terlantar yang ada di lembaga pengasuhan tersebut.

Apa yang dia ubah?
Dia mengubah batas impian anak-anak terlantar di lingkungannya.
Dia mengubah cara anak-anak terlantar memandang hidup mereka.

Bulan September di tanggal 7, Rabu Malam, pukul 19.35, anak-anak dikumpulkan dalam ruang pertemuan. Saya duduk di pinggir pintu menikmati aktivitas tersebut. Kepala lembaga meminta anak-anak mengungkapkan cita-cita mereka satu-per satu.
Satu orang berceloteh “Saya ingin seperti Ka Ananda, jadi atlet ke Athena!”
Malam itu, banyak pujian ditujukan untuk Ananda, si agen perubahan.

Pujian bagi seorang anak yang menjadi agen perubahan harusnya bukan hanya terjadi di tempat itu. Pengakuan untuk anak sebagai agen perubahan semestinya bukan hanya terjadi pada diri Ananda. Saya begitu percaya bahwa setiap anak kaya dengan potensi, tanpa pengecualian. Pandanglah setiap anak dan temukan potensi pengubah dalam diri mereka.

Dapatkah anda membayangkan bangsa ini, yang penduduknya sebesar 237, 6 juta orang dengan 34,66 persen dari jumlah tersebut adalah kelompok usia anak (0-17 tahun), memiliki 82.352.160 (34,66 persen dari 236,7 juta) agen perubahan yang siap membenahi keadaan bangsa Indonesia?
worldvision

http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2013/07/02/anaknda-sebagai-agen-perubahan-573727.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar