Ini
cerita saya. Tapi, bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak yang pada
mereka kita menaruh harapan tentang bangsa ini. Kita sering menyebut
mereka generasi penerus. Kita mengatakan bahwa mereka adalah calon
pemimpin bangsa di masa depan. Kita berharap di tangan merekalah
perubahan bangsa ini akan nyata.
Tapi,
hari ini mereka adalah bilangan kaum yang lemah, butuh dididik, butuh
perlindungan, dan butuh model agar mereka dapat berkembang secara
maksimal.
Sebuah
ironi terjadi dalam satu sisi kehidupan di mana saya pernah terlibat di
dalamnya. Ini kejadian 2 tahun lalu, ketika saya masih mahasiswa. Saya
diwajibkan untuk menjalani program magang di sebuah lembaga pelayanan
sosial. Universitas tempat saya menimba ilmu memberi kebebasan bagi
mahasiswanya untuk memilih lembaga yang akan menjadi tempat magang
masing-masing. Maka, saya tidak menyia-nyiakan kebebasan ini. Saya
memilih magang di sebuah lembaga, yang bergerak di bidang pengasuhan
anak, di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.
Menantang
bagi saya untuk mendalami apa yang terjadi dalam kehidupan anak
terlantar di lembaga tersebut. Saya membayangkan akan bercengkrama dan
berbagi cerita tentang sisi kehidupan anak-anak terlantar yang akan saya
temui nanti. Benar saja, banyak sekali pelajaran saya dapat selama ada
di sana. Kisah yang menyentuh hati bukan hanya sekali dua kali saya
dengar. Bahkan, pada beberapa kesempatan saya meneteskan air mata karena
apa yang mereka alami.
Anak terlantar..
Wolock & Horrowitz mendefiniskan penelantaran anak sebagai “…the
failure of the child’s parent or caretaker, who has the material
resources to do so, to provide minimally adequate care in the areas of
health, nutrition, shelter, education, supervision, affection, or
attention”. (Kegagalan
orang tua atau pengasuh anak, yang memiliki sumber-sumber materi, untuk
menyediakan seminimalnya perawatan yang cukup dalam bidang kesehatan,
gizi, perlindungan, kasih sayang, dan perhatian) (Kirst-Ashman, 2007 :
274).
Saya akan mengangkat satu kisah tentang salah satu anak terlantar yang saya temui 2 tahun lalu di lembaga tersebut.
Sebut
saja dia Ananda. Ananda adalah salah satu anak yang ditelantarkan oleh
orangtua kandungnya sendiri. Ayah kandungnya enggan bertanggungjawab
atas keberadaannya karena ayah dan ibunya bukan dalam status pernikahan.
Ananda tidak pernah bertemu orangtuanya sejak kecil. Keberadaannya di
lembaga pengasuhan sejak lahir membuat dia hanya mengenal ibu asuh dan
anak-anak asuh lainnya sebagai keluarganya.
Saat ini, Ananda menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Ananda adalah seorang slow learner. Dia
juga mengalami penyakit eksim yang membuat dia harus mengatur menu
makannya secara ketat. Saya melihat banyak kekurangan dalam diri anak
ini. Tapi, tidak demikian dengan dirinya. Dua bulan sebelum pertemuan
pertama saya dengannya, dia baru saja kembali dari Athena. Ananda, si
anak terlantar, slow learner-pelajar SLB, penderita
eksim, mewakili Indonesia sebagai atlet nasional cabang olahraga
basket. Ananda tidak dibutakan dengan masa lalunya yang menyedihkan. Dia
mampu melihat dirinya sebagai agen perubahan untuk bangsa ini.
Saya
pikir dia ada di tempat yang tepat. Si anak yang ditelantarkan
orangtuanya berbelas tahun yang lalu, tidak ditelantarkan dunia. Lembaga
pengasuhan tempat dia berlindung telah merawat dirinya dengan luar
biasa, membiayai pendidikannya, memastikan dia sehat, dan menjamin
kesejahteraannya. Seperti yang pernah saya baca dalam sebuah literatur,
“Pengasuhan
diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan dan
pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan
biaya dan atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara
optimal baik fisik, mental, spritual, maupun sosial, tanpa mempengaruhi
agama yang dianut anak.” Pasal 38 (2) Undang-undang Perlindungan Anak.
Saat
ini, Ananda masih terus melanjutkan hidupnya. Dia terus berlatih
basket. Dia pernah menyampaikan keinginannya untuk mewakili Indonesia
kembali pada olimpiade yang akan datang. Dan tahu, apa selanjutnya?
Ananda telah menjadi agen perubahan bagi 150an anak terlantar yang ada
di lembaga pengasuhan tersebut.
Apa yang dia ubah?
Dia mengubah batas impian anak-anak terlantar di lingkungannya.
Dia mengubah cara anak-anak terlantar memandang hidup mereka.
Bulan
September di tanggal 7, Rabu Malam, pukul 19.35, anak-anak dikumpulkan
dalam ruang pertemuan. Saya duduk di pinggir pintu menikmati aktivitas
tersebut. Kepala lembaga meminta anak-anak mengungkapkan cita-cita
mereka satu-per satu.
Satu orang berceloteh “Saya ingin seperti Ka Ananda, jadi atlet ke Athena!”
Malam itu, banyak pujian ditujukan untuk Ananda, si agen perubahan.
Pujian
bagi seorang anak yang menjadi agen perubahan harusnya bukan hanya
terjadi di tempat itu. Pengakuan untuk anak sebagai agen perubahan
semestinya bukan hanya terjadi pada diri Ananda. Saya begitu percaya
bahwa setiap anak kaya dengan potensi, tanpa pengecualian. Pandanglah
setiap anak dan temukan potensi pengubah dalam diri mereka.
Dapatkah anda membayangkan bangsa ini, yang penduduknya sebesar 237, 6 juta orang dengan 34,66 persen dari jumlah tersebut adalah kelompok usia anak (0-17 tahun), memiliki 82.352.160 (34,66 persen dari 236,7 juta) agen perubahan yang siap membenahi keadaan bangsa Indonesia?
worldvision
http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2013/07/02/anaknda-sebagai-agen-perubahan-573727.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar