Senin, 08 Juli 2013

Saya Mau Jadi Masinis! (Selamat Datang Agen Perubahan!)

Rasanya semua orang pasti pernah diberi pertanyaan “Kalau kamu besar nanti, kamu mau jadi apa?” atau “Cita-cita kamu apa?”. Minimal orangtua atau keluarga kita pasti pernah bertanya demikian. Lalu, apa jawaban yang sering kita dengar? Dokter, guru, pilot, artis, pemain bola mungkin menjadi nominasi jawaban terpopuler tentang cita-cita. Sepertinya profesi-profesi itulah yang membuat hati mereka bergelora untuk belajar dan untuk pergi ke sekolah menuntut ilmu.

Tapi, ada seorang anak yang berbeda. Anto. Namanya tidak saya samarkan karena dia seorang yang inspiratif dan saya pikir orang-orang yang membaca tulisan ini mungkin juga bisa bertemu dengannya kalau sedang singgah ke stasiun Manggarai.

Si anak penyapu kereta, yang tak punya rumah dan tak punya sandal ini, punya cita-cita yang berbeda dari anak-anak yang lain.

Anto, bocah 11 tahun, sehari-harinya bekerja menyapu kereta dan berharap para penumpang kereta mengulurkan tangan mereka dengan selembar uang seribuan supaya ia bisa menyambung hidupnya. Dia tak punya rumah. Baginya, lantai peron kereta Manggarai cukup untuk tempat peraduan pada malam demi malam. Sebenarnya, Anto punya tempat tinggal yang lebih layak yaitu rumah orangtuanya (yah, walaupun hanya rumah satu petak). Tapi, menurut pengakuannya, rumah orangtuanya ,yang di Ciledug itu, terlalu jauh untuk menjangkau stasiun kereta Manggarai tempat dia mencari nafkah. 

Itu baru tentang ketidakpunyaannya akan tempat tinggal yang layak. Belum tentang sandal. Waktu saya bercengkrama dengan dia, kakinya tak bersandal. Kakinya kotor, hitam karena debu dari lantai kereta dan tanah. Saya juga bisa lihat ada beberapa goresan di kakinya. Pasti itu bekas luka akibat beling atau tergores batu. Saya pikir hanya hari itu dia tidak memakai sandal. Lantas, saya tanya kepadanya tentang hal itu. “Sudah biasa gak pake sandal, Kak. Kalo pake sandal, malemnya pasti ilang. Sapu aja suka ilang”, jawabnya. Saya menawarkan supaya saat itu kami pergi ke warung untuk membeli sandal. Dia tidak mau. Sudah biasa katanya. 

Oh iya, di umurnya yang ke 11 tahun, Anto belum bisa membaca. Jelas saja, pendidikan sekolah dasar tidak pernah dikecapnya. Keluarganya tidak punya dana yang cukup untuk menyekolahkannya. Kondisinya yang tidak bersekolah dan tidak bisa membaca itulah yang mempertemukan dia dengan saya. Saya jadi relawan di sebuah rumah singgah di daerah Manggarai saat itu. Rumah singgah tempat saya beraktivitas memang terbuka untuk anak-anak pemulung, pengamen, dan anak kurang mampu. Rumah singgah ini ingin membantu anak-anak tersebut agar mereka bisa merasakan punya seorang guru, diajar sebuah materi, diberi nilai, dan pastinya supaya mereka menjadi anak yang bisa membaca dan berhitung.

Suatu hari, saya dan adik-adik sedang belajar. Kami membahas bahaya rokok. Lalu, saya meminta anak-anak tersebut untuk menggambar tentang bahaya rokok atau kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan rokok. Anak-anak mulai menggambar. Ada yang menggambar orang merokok di dalam rumah. Ada juga yang menggambar bentuk rokok. Kemudian, saya menghampiri Anto. Tahu apa yang dia gambar? Dia menggambar sebuah kereta dengan penumpangnya serta masinis di gerbong paling depan. Tidak terlihat gambar rokok atau orang merokok sama sekali. Seketika saya bingung.

“Ini ceritanya apa, Anto?”, Tanya saya tanpa mengungkit-ungkit tentang rokok sebagai tema gambar. “Saya mau jadi masinis, Kak!” jawabnya singkat, padat, jelas, dan penuh semangat.

gambar ini diambil dari http://www.djibnet.com/photo/harina/argo-parahyangan-full-eksekutip-4565240176.html
 
Baru sekali ini, seumur hidup saya, saya dengar ada anak yang cita-citanya jadi masinis.
Saat itu juga saya menyadari sesuatu. Dia bercita-cita demikian karena hidupnya sehari-hari dihabiskan dalam kereta, sehingga banyak hal yang mungkin tidak dia ketahui. Ditambah lagi ketidakmampuannya dalam membaca. 

Tapi, cita-citanya diletakkan di tempat yang paling tinggi..
Tempat yang paling terdepan sejauh matanya memandang dalam sebuah kereta. Masinis.

Tahu kan sekarang, kenapa saya bilang cita-cita Anto berbeda?

Ingat cita-cita, ingat juga ungkapan ini “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Kalau kita telaah kata demi kata dalam ungkapan ini, harusnya kita mengerti satu hal. Untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, anak-anak butuh pesawat terbang, butuh tangga yang panjaaaang sekali, atau mereka butuh kursi dengan kaki yang tinggi. Yah, pesawat terbang, tangga, dan kursi itu hanya perumpamaan. Intinya, mereka butuh media untuk bisa melakukannya. Sesuatu yang membantu mereka untuk sampai ke sana. Anto butuh pendidikan. Dia juga butuh guru, butuh buku, dan butuh pengetahuan yang membawa dia bisa menggapai cita-citanya. Demikian juga “Anto-Anto” yang lain.

Bangsa yang kita tinggali saat ini butuh orang-orang yang ahli di bidangnya. Tentu itu tidak dapat diperoleh secara instan. Kita sudah punya modal yang besar, anak-anak. Sinergisme keluarga, pemerintah, serta masyarakat adalah penggerak yang berpengaruh besar demi lahirnya generasi yang terdidik dan ahli di bidangnya, generasi yang siap menjadi agen perubahan. Seperti Anto, calon masinis yang bisa menjadi agen perubahan lewat pekerjaannya.

Dapatkah kita mewujudkannya? Dapat.

Anak-anak adalah modal. Cita-cita mereka adalah benih yang baik. Bagian kita bergerak dan bersinergi untuk mewujudkannya.

Mari kita sambut agen-agen perubahan negeri kita. Selamat datang anak-anak. Selamat datang agen perubahan!


worldvision

http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/03/saya-mau-jadi-masinis-selamat-datang-agen-perubahan-574013.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar