Rasanya
semua orang pasti pernah diberi pertanyaan “Kalau kamu besar nanti,
kamu mau jadi apa?” atau “Cita-cita kamu apa?”. Minimal orangtua atau
keluarga kita pasti pernah bertanya demikian. Lalu, apa jawaban yang
sering kita dengar? Dokter, guru, pilot, artis, pemain bola mungkin
menjadi nominasi jawaban terpopuler tentang cita-cita. Sepertinya
profesi-profesi itulah yang membuat hati mereka bergelora untuk belajar
dan untuk pergi ke sekolah menuntut ilmu.
Tapi,
ada seorang anak yang berbeda. Anto. Namanya tidak saya samarkan karena
dia seorang yang inspiratif dan saya pikir orang-orang yang membaca
tulisan ini mungkin juga bisa bertemu dengannya kalau sedang singgah ke
stasiun Manggarai.
Si anak penyapu kereta, yang tak punya rumah dan tak punya sandal ini, punya cita-cita yang berbeda dari anak-anak yang lain.
Anto,
bocah 11 tahun, sehari-harinya bekerja menyapu kereta dan berharap para
penumpang kereta mengulurkan tangan mereka dengan selembar uang
seribuan supaya ia bisa menyambung hidupnya. Dia
tak punya rumah. Baginya, lantai peron kereta Manggarai cukup untuk
tempat peraduan pada malam demi malam. Sebenarnya, Anto punya tempat
tinggal yang lebih layak yaitu rumah orangtuanya (yah, walaupun hanya
rumah satu petak). Tapi, menurut pengakuannya, rumah orangtuanya ,yang
di Ciledug itu, terlalu jauh untuk menjangkau stasiun kereta Manggarai
tempat dia mencari nafkah.
Itu
baru tentang ketidakpunyaannya akan tempat tinggal yang layak. Belum
tentang sandal. Waktu saya bercengkrama dengan dia, kakinya tak
bersandal. Kakinya kotor, hitam karena debu dari lantai kereta dan
tanah. Saya juga bisa lihat ada beberapa goresan di kakinya. Pasti itu
bekas luka akibat beling atau tergores batu. Saya pikir hanya hari itu
dia tidak memakai sandal. Lantas, saya tanya kepadanya tentang hal itu.
“Sudah biasa gak pake sandal, Kak. Kalo pake sandal, malemnya pasti
ilang. Sapu aja suka ilang”, jawabnya. Saya menawarkan supaya saat itu
kami pergi ke warung untuk membeli sandal. Dia tidak mau. Sudah biasa
katanya.
Oh
iya, di umurnya yang ke 11 tahun, Anto belum bisa membaca. Jelas saja,
pendidikan sekolah dasar tidak pernah dikecapnya. Keluarganya tidak
punya dana yang cukup untuk menyekolahkannya. Kondisinya yang tidak
bersekolah dan tidak bisa membaca itulah yang mempertemukan dia dengan
saya. Saya jadi relawan di sebuah rumah singgah di daerah Manggarai saat
itu. Rumah singgah tempat saya beraktivitas memang terbuka untuk
anak-anak pemulung, pengamen, dan anak kurang mampu. Rumah singgah ini
ingin membantu anak-anak tersebut agar mereka bisa merasakan punya
seorang guru, diajar sebuah materi, diberi nilai, dan pastinya supaya
mereka menjadi anak yang bisa membaca dan berhitung.
Suatu
hari, saya dan adik-adik sedang belajar. Kami membahas bahaya rokok.
Lalu, saya meminta anak-anak tersebut untuk menggambar tentang bahaya
rokok atau kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan rokok. Anak-anak
mulai menggambar. Ada yang menggambar orang merokok di dalam rumah. Ada
juga yang menggambar bentuk rokok. Kemudian, saya menghampiri Anto. Tahu
apa yang dia gambar? Dia menggambar sebuah kereta dengan penumpangnya
serta masinis di gerbong paling depan. Tidak terlihat gambar rokok atau
orang merokok sama sekali. Seketika saya bingung.
gambar ini diambil dari http://www.djibnet.com/photo/harina/argo-parahyangan-full-eksekutip-4565240176.html
Baru sekali ini, seumur hidup saya, saya dengar ada anak yang cita-citanya jadi masinis.
Saat
itu juga saya menyadari sesuatu. Dia bercita-cita demikian karena
hidupnya sehari-hari dihabiskan dalam kereta, sehingga banyak hal yang
mungkin tidak dia ketahui. Ditambah lagi ketidakmampuannya dalam
membaca.
Tapi, cita-citanya diletakkan di tempat yang paling tinggi..
Tempat yang paling terdepan sejauh matanya memandang dalam sebuah kereta. Masinis.
Tahu kan sekarang, kenapa saya bilang cita-cita Anto berbeda?
Ingat cita-cita, ingat juga ungkapan ini “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Kalau
kita telaah kata demi kata dalam ungkapan ini, harusnya kita mengerti
satu hal. Untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, anak-anak
butuh pesawat terbang, butuh tangga yang panjaaaang sekali, atau mereka
butuh kursi dengan kaki yang tinggi. Yah, pesawat terbang, tangga, dan
kursi itu hanya perumpamaan. Intinya, mereka butuh media untuk bisa
melakukannya. Sesuatu yang membantu mereka untuk sampai ke sana. Anto
butuh pendidikan. Dia juga butuh guru, butuh buku, dan butuh pengetahuan
yang membawa dia bisa menggapai cita-citanya. Demikian juga “Anto-Anto”
yang lain.
Bangsa
yang kita tinggali saat ini butuh orang-orang yang ahli di bidangnya.
Tentu itu tidak dapat diperoleh secara instan. Kita sudah punya modal
yang besar, anak-anak. Sinergisme keluarga, pemerintah, serta masyarakat
adalah penggerak yang berpengaruh besar demi lahirnya generasi yang
terdidik dan ahli di bidangnya, generasi yang siap menjadi agen
perubahan. Seperti Anto, calon masinis yang bisa menjadi agen perubahan lewat pekerjaannya.
Dapatkah kita mewujudkannya? Dapat.
Anak-anak adalah modal. Cita-cita mereka adalah benih yang baik. Bagian kita bergerak dan bersinergi untuk mewujudkannya.
worldvision
http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/03/saya-mau-jadi-masinis-selamat-datang-agen-perubahan-574013.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar