Sabtu, 25 Mei 2013

Saya ingin menyejahterakan anak-anak!


Hari ini saya melakukan sesuatu yang tertunda. Berhari-hari sampai hitungan minggu lamanya, tulisan ini tertunda untuk dibuat.
Kembali ke tujuan awal saya membuat catatan ini, mengisi laman demi laman, saya ingin menuliskan setiap langkah yang sudah saya jejakkan untuk sampai kepada mimpi saya.
Mimpi ini timbul di hati saya sekitar 6 tahun yang lalu..

Saya ingat betul, sebelum 6 tahun yang lalu, saya bukan pribadi yang menyukai anak-anak. Saya justru cenderung memandang sebelah mata keberadaan anak-anak, bahkan menghindari kontak dengan anak-anak. Persepsi saya pada saat itu, anak-anak hanya seorang yang merepotkan, suka bergelayut, manja, ahh..tidak ada sesuatu yang “menarik” dari anak-anak yang menarik saya untuk mendekati mereka. Pernah satu hari, ketika saya duduk di bangku SMP, seorang guru Bahasa Inggris membawa anaknya yang berumur dua tahun ke sekolah. Sekonyong-konyong teman-teman saya mengerubungi si anak, mencubit pipinya, dan mengajak bicara dengan gaya khas “bocah”.  Saya? Tentu saja mengambil jarak beberapa langkah sambil berpikir dalam hati “Ini pada ngapain sih? Apa lucunya itu anak.”

Saya sering melontarkan pernyataan kepada teman-teman saya bahwa saya tidak menyukai anak-anak. Saya tidak suka ke”cengeng”an mereka, direpotkan dengan kemanjaan mereka, dan merasa terganggu dengan tingkah mereka yang acapkali “rewel”, urrggghh..No, stay away from me kids!

Hahaha, menuliskan hal ini saya tertawa sendiri dalam hati. Betapa saya masih mengingatnya..Ketidaksukaan saya terhadap anak-anak. Saya juga tidak tahu kenapa saya
seperti itu. Padahal, saya memiliki dua adik yang jarak usianya 3 tahun dan 6 tahun. Seharusnya saya terbiasa dengan keberadaan anak-anak. Paling tidak saya pernah “mengasuh” dua orang anak selama hidup saya.

Belum cukup sampai disitu. Ternyata saya juga bukan kakak yang baik untuk kedua anak kecil di rumah saya ini. Dewasa ini, mereka berdua sering berkelakar “Lo kan dulu selalu buang muka kalo kita panggil pas di sekolah. Lo gak pernah mau pulang bareng kita.”
Astaga...Saya baru menyadarinya. Saya tidak menampik apa yang mereka katakan. Benar..Itulah saya saat itu. Saya selalu tidak acuh ketika mereka memanggil saya. Saya membiarkan mereka yang baru kelas 5 dan 2 SD pulang sendirian. Padahal saya, kakaknya, satu sekolah dengan mereka.
Benar-benar saya ini, bukan penyayang anak-anak. Jauh dari figur pemerhati anak-anak.

Tapi mimpi ini mengubahkan saya.

6 tahun yang lalu, sosok yang tidak pernah saya perhatikan selama bertahun-tahun, yang tidak menarik perhatian saya, kini membuat hati saya hancur melihatnya, bahkan mereka mengambil seluruh perhatian saya.  Membuat banyak keputusan yang saya ambil ketika kuliah, bekerja, bahkan memilih pasangan hidup, memasukkan mereka dalam arena pertimbangan.

Entah apa yang membuat bayangan itu muncul dalam pikiran saya.  Saya membayangkan anak-anak di ujung-ujung Indonesia yang miskin dan tidak tersentuh. Tidak tersentuh pendidikan, tidak tersentuh fasilitas kesehatan, tidak tersentuh teknologi. Tapi saya ingin menyentuh mereka. Saya ingin mereka  merasakan apa yang saya rasakan: mengenyam pendidikan, terlayani fasilitas kesehatan, mendapat makanan yang cukup.

Saya ingin menyejahterakan anak-anak!

Saya ingin mereka tersenyum karena bisa belajar. Saya ingin melihat mata yang berbinar karena cakrawala terbuka. Saya ingin melihat mereka tertawa karena perut mereka kenyang. Saya ingin melihat mereka bergembira karena mereka sehat.



Saya akan terus memimpikan itu dan melangkah untuk mewujudkan. Saya biarkan itu hidup dalam hati saya, menderu dalam nafas saya, memenuhi pikiran saya.  Dan inilah yang bergema dari mulut saya, “Aku dan mimpiku selangkah lagi.”